Rencana pemberian stimulus Rp100 juta untuk pelaku ekonomi kreatif (ekraf) yang tertuang dalam RPJMD 2025–2029 menjadi sorotan serius dari DPRD Kutai Kartanegara (Kukar).
KUTAI KARTANEGARA, NOMORSATUKALTIM – Rencana pemberian stimulus Rp100 juta untuk pelaku ekonomi kreatif (ekraf) yang tertuang dalam RPJMD 2025–2029 menjadi sorotan serius dari DPRD Kutai Kartanegara (Kukar).
Anggota Komisi IV DPRD Kukar, Akhmad Akbar Haka Saputra menekankan, bahwa program tersebut harus diawasi ketat agar penyaluran bantuan tepat sasaran dan benar-benar memberikan dampak positif bagi perkembangan ekraf di daerah.
Menurut Akbar, potensi peningkatan sektor ekraf cukup besar jika program dijalankan secara selektif dan terukur.
Namun, ia mengingatkan bahwa jumlah anggaran yang besar juga membuka peluang penyalahgunaan apabila tidak diimbangi dengan sistem pengelolaan yang rapi.
“Kalau dikasih ke orang yang belum siap, ibarat ngasih motor balap ke orang belum bisa nyetir. Bisa celaka,” ujarnya, belum lama ini.
Akbar menjelaskan, bahwa ekraf mencakup 17 subsektor dengan karakter yang berbeda-beda, mulai dari yang berbasis personal hingga karya kreatif yang memerlukan pendekatan khusus dalam pemberian bantuan.
Menurutnya, mekanisme pendistribusian harus memperhitungkan kebutuhan spesifik tiap subsektor.
Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam program ini, termasuk kejelasan jumlah pelaku ekraf yang akan menerima bantuan dan bagaimana mekanisme pengawasan dilakukan setelah penyaluran.
“Berapa anggaran total yang disiapkan? Ini harus jelas. Jangan sampai program besar begini tidak diimbangi dengan sistem yang kuat,” tambahnya.
Sebagai langkah awal, Akbar menyarankan pembentukan sistem kurasi dan inkubasi bagi calon penerima sebelum dana dicairkan.
Langkah ini dinilai mampu memastikan bantuan diberikan kepada pelaku yang memiliki potensi berkembang, bukan sekadar pemilik label usaha kreatif.
Ia mendorong agar pemerintah daerah melibatkan komunitas atau asosiasi ekraf dalam proses seleksi. Dengan begitu, penilaian akan lebih objektif karena melibatkan pihak yang memahami langsung kondisi dan tantangan pelaku ekraf.
Pengawasan setelah bantuan cair, lanjutnya, merupakan faktor krusial yang tidak boleh diabaikan. Tanpa evaluasi berkala, dana yang besar ini berisiko tidak memberikan hasil nyata bagi daerah maupun penerima bantuan.
“Rp100 juta itu bukan angka kecil. Kalau tidak diawasi dengan baik, yang rugi bukan hanya daerah, tapi pelaku ekraf itu sendiri,” pungkasnya. (adv)